SELAMAT DATANG DI AMBALAN SYARIF HIDAYATULLAH DAN PAKUNGWATI (SYAHID-PATI) GUDEP B.04.011- B.04.012 PANGKALAN SMK BINA PRESTASI BANGSA CIKALONGWETAN Jl. Raya Purwakarta Cigentur 73, Cikalongwetan bandung Barat 40556, email : syarifvakung@gmail.com

Selasa, 31 Mei 2011

Sejarah Kepanduan di Indonesia

KEPANDUAN DI INDONESIA


KEPANDUAN DI INDONESIA

Kepanduan pada Masa Hindia Belanda

Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia mempunyai saham besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta ada dan berkembangnya pendidikan kepanduan di Indonesia. Dalam perkembangan pendidikan kepanduan itu tampak adanya dorongan dan semangat untuk bersatu, namun terdapat gejala adanya berorganisasi yang Bhinneka.

Organisasi kepanduan di Indonesia dimulai oleh adanya cabang "Nederlandse Padvinders Organisatie" (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir besar sendiri serta kemudian berganti nama menjadi "Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging" (NIPV) pada tahun 1916.

Organisasi kepanduan yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia adalah "Javaanse Padvinders Organisatie" (JPO); berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII pada tahun 1916. Kenyataan bahwa kepanduan itu senapas dengan pergerakan nasional, seperti tersebut di atas dapat diperhatikan pada adanya "Padvinder Muhammadiyah" yang didirikan pada tahun 1918 oleh K.H Ahmad Dahlan yang pada 1920 berganti nama menjadi "Hizbul Wathan" (HW); "Nationale Padvinderij" yang didirikan oleh Budi Utomo; "Syarikat Islam" mendirikan "Syarikat Islam Afdeling Padvinderij" yang kemudian diganti menjadi "Syarikat Islam Afdeling Pandu" dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia.

Federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928 membentuk PAPI yaitu "Persaudaraan Antara Pandu Indonesia". Federasi ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930 berdirilah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij); PK-Pandu Kebangsaan). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938.

Antara tahun 1928-1935 bermuncullah gerakan kepanduan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama.

Kepanduan yang bernafas kebangsaan
dapat dicatat Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI).

Sedangkan kepanduan yang bernafas agama yaitu Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathan, (HW), Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI).

Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI merencanakan "All Indonesian Jamboree". Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan, yang kemudian disepakati diganti dengan "Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem" disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta.

Kepanduan pada Masa Bala Tentara Dai Nippon

"Dai Nippon" ! Itulah nama yang dipakai untuk menyebut Jepang pada waktu itu. Pada masa Perang Dunia II, bala tentara Jepang mengadakan penyerangan dan Belanda meninggalkan Indonesia. Partai dan organisasi rakyat Indonesia, termasuk gerakan kepanduan, dilarang berdiri. Namun upaya menyelenggarakan PERKINO II tetap dilakukan. Bukan hanya itu, semangat kepanduan tetap menyala di dada para anggotanya.

Kepanduan pada Masa Republik Indonesia

Sebulan sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, beberapa tokoh kepanduan berkumpul di Yogyakarta dan bersepakat untuk membentuk Panitia Kesatuan Kepanduan Indonesia sebagai suatu panitia kerja, menunjukkan pembentukan satu wadah organisasi kepanduan untuk seluruh bangsa Indonesia dan segera mengadakan Konggres Kesatuan Kepanduan Indonesia.

Kongres yang dimaksud, dilaksanakan pada tanggal 27-29 Desember 1945 di Surakarta dengan hasil terbentuknya Pandu Rakyat Indonesia. Perkumpulan ini didukung oleh segenap pimpinan dan tokoh serta dikuatkan dengan "Janji Ikatan Sakti", lalu pemerintah RI mengakui sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan No.93/Bag. A, tertanggal 1 Februari 1947.

Tahun-tahun sulit dihadapi oleh Pandu Rakyat Indonesia karena serbuan Belanda. Bahkan pada peringatan kemerdekaan 17 Agustus 1948 waktu diadakan api unggun di halaman gedung Pegangsaan Timur 56, Jakarta, senjata Belanda mengancam dan memaksa Soeprapto menghadap Tuhan, gugur sebagai Pandu, sebagai patriot yang membuktikan cintanya pada negara, tanah air dan bangsanya. Di daerah yang diduduki Belanda, Pandu Rakyat dilarang berdiri,. Keadaan ini mendorong berdirinya perkumpulan lain seperti Kepanduan Putera Indonesia (KPI), Pandu Puteri Indonesia (PPI), Kepanduan Indonesia Muda (KIM).

Masa perjuangan bersenjata untuk mempertahankan negeri tercinta merupakan pengabdian juga bagi para anggota pergerakan kepanduan di Indonesia, kemudian berakhirlah periode perjuangan bersenjata untuk menegakkan dan mempertahakan kemerdekaan itu, pada waktu inilah Pandu Rakyat Indonesia mengadakan Kongres II di Yogyakarta pada tanggal 20-22 Januari 1950.

Kongres ini antara lain memutuskan untuk menerima konsepsi baru, yaitu memberi kesempatan kepada golongan khusus untuk menghidupakan kembali bekas organisasinya masing-masing dan terbukalah suatu kesempatan bahwa Pandu Rakyat Indonesia bukan lagi satu-satunya organisasi kepanduan di Indonesia dengan keputusan Menteri PP dan K nomor 2344/Kab. tertanggal 6 September 1951 dicabutlah pengakuan pemerintah bahwa Pandu Rakyat Indonesia merupakan satu-satunya wadah kepanduan di Indonesia, jadi keputusan nomor 93/Bag. A tertanggal 1 Februari 1947 itu berakhir sudah.

Mungkin agak aneh juga kalau direnungi, sebab sepuluh hari sesudah keputusan Menteri No. 2334/Kab. itu keluar, maka wakil-wakil organisasi kepanduan mengadakan konfersensi di Jakarta. Pada saat inilah tepatnya tanggal 16 September 1951 diputuskan berdirinya Ikatan Pandu Indonesia (IPINDO) sebagai suatu federasi.

Pada 1953 Ipindo berhasil menjadi anggota kepanduan sedunia. Ipindo merupakan federasi bagi organisasi kepanduan putera, sedangkan bagi organisasi puteri terdapat dua federasi yaitu PKPI (Persatuan Kepanduan Puteri Indonesia) dan POPPINDO (Persatuan Organisasi Pandu Puteri Indonesia). Kedua federasi ini pernah bersama-sama menyambut singgahnya Lady Baden-Powell ke Indonesia, dalam perjalanan ke Australia.

Dalam peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI yang ke-10 Ipindo menyelenggarakan Jambore Nasional, bertempat di Ragunan, Pasar Minggu pada tanggal 10-20 Agustus 1955, Jakarta. Ipindo sebagai wadah pelaksana kegiatan kepanduan merasa perlu menyelenggarakan seminar agar dapat gambaran upaya untuk menjamin kemurnian dan kelestarian hidup kepanduan. Seminar ini diadakan di Tugu, Bogor pada bulan Januari 1957. Seminar Tugu ini menghasilkan suatu rumusan yang diharapkan dapat dijadikan acuan bagi setiap gerakan kepanduan di Indonesia. Dengan demikian diharapkan kepanduan yang ada dapat dipersatukan. Setahun kemudian pada bulan Novem-ber 1958, Pemerintah RI, dalam hal ini Departemen PP dan K mengadakan seminar di Ciloto, Bogor, Jawa Barat, dengan topik "Penasionalan Kepanduan".

Kalau Jambore untuk putera dilaksanakan di Ragunan Pasar Minggu Jakarta, maka PKPI menyelenggarakan perkemahan besar untuk puteri yang disebut Desa Semanggi bertempat di Ciputat. Desa Semanggi itu terlaksana pada tahun 1959. Pada tahun ini juga Ipindo mengirimkan kontingennya ke Jambore Dunia di MT. Makiling Filipina. Nah, masa-masa kemudian adalah masa menjelang lahirnya Gerakan Pramuka.

KELAHIRAN GERAKAN PRAMUKA

Latar Belakang Lahirnya Gerakan Pramuka

Gerakan Pramuka lahir pada tahun 1961, peraturan yang timbul pada masa perintisan ini adalah Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, tanggal 3 Desember 1960 tentang rencana pembangunan Nasional Semesta Berencana. Dalam ketetapan ini dapat ditemukan Pasal 330. C. yang menyatakan bahwa dasar pendidikan di bidang kepanduan adalah Pancasila. Seterusnya penertiban tentang kepanduan (Pasal 741) dan pendidikan kepanduan supaya diintensifkan dan menyetujui rencana Pemerintah untuk mendirikan Pramuka (Pasal 349 Ayat 30). Kemudian kepanduan supaya dibebaskan dari sisa-sisa Lord Baden Powellisme (Lampiran C Ayat 8).

Ketetapan itu memberi kewajiban agar Pemerintah melaksanakannya. Karena itulah Pesiden/Mandataris MPRS pada 9 Maret 1961 mengumpulkan tokoh-tokoh dan pemimpin gerakan kepanduan Indonesia, bertempat di Istana Negara. Hari Kamis malam itulah Presiden mengungkapkan bahwa kepanduan yang ada harus diperbaharui, metode dan aktivitas pendidikan harus diganti, seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu yang disebut Pramuka. Presiden juga menunjuk panitia yang terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Menteri P dan K Prof. Prijono, Menteri Pertanian Dr.A. Azis Saleh dan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa, Achmadi. Panitia ini tentulah perlu sesuatu pengesahan. Dan kemudian terbitlah Keputusan Presiden RI No.112 Tahun 1961 tanggal 5 April 1961, tentang Panitia Pembantu Pelaksana Pembentukan Gerakan Pramuka dengan susunan keanggotaan seperti yang disebut oleh Presiden pada tanggal 9 Maret 1961.

Ada perbedaan sebutan atau tugas panitia antara pidato Presiden dengan Keputusan Presiden itu. Masih dalam bulan April itu juga, keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 121 Tahun 1961 tanggal 11 April 1961 tentang Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Anggota Panitia ini terdiri atas Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, Achmadi dan Muljadi Djojo Martono (Menteri Sosial).

Panitia inilah yang kemudian mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka, sebagai Lampiran Keputusan Presiden R.I Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961 tentang Gerakan Pramuka.

Kelahiran Gerakan Pramuka

Kelahiran Gerakan Pramuka ditandai dengan serangkaian peristiwa yang saling berkaitan yaitu :
1. Pidato Presiden/Mandataris MPRS dihadapan para tokoh dan pimpinan yang mewakili organisasi kepanduan yang terdapat di Indonesia pada tanggal 9 Maret 1961 di Istana Negara. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI TUNAS GERAKAN PRAMUKA. Diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961, tanggal 20 Mei 1961, tentang Gerakan Pramuka yang menetapkan Gerakan Pramuka sebagai satu-satunya organisasi kepanduan yang ditugaskan menyelenggarakan pendidikan kepanduan bagi anak-anak dan pemuda Indonesia, serta mengesahkan Anggaran Dasar Gerakan Pramuka yang dijadikan pedoman, petunjuk dan pegangan bagi para pengelola Gerakan Pramuka dalam menjalankan tugasnya. Tanggal 20 Mei adalah; Hari Kebangkitan Nasional, namun bagi Gerakan Pramuka memiliki arti khusus dan merupakan tonggak sejarah untuk pendidikan di lingkungan ke tiga. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI PERMULAAN TAHUN KERJA.

Pernyataan para wakil organisasi kepanduan di Indonesia yang dengan ikhlas meleburkan diri ke dalam organisasi Gerakan Pramuka, dilakukan di Istana Olahraga Senayan pada tanggal 30 Juli 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI IKRAR GERAKAN PRAMUKA.

2. Pelantikan Mapinas, Kwarnas dan Kwarnari di Istana Negara, diikuti defile Pramuka untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang didahului dengan penganugerahan Panji-Panji Gerakan Pramuka, dan kesemuanya ini terjadi pada tanggal pada tanggal 14 Agustus 1961. Peristiwa ini kemudian disebut sebagai HARI PRAMUKA.

Demikian perjalanan kepanduan di Indonesia, sehingga dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 238 Tahun 1961, maka semua pandu - pandu di Indonesia ("Padvinder Muhammadiyah" yang didirikan pada tahun 1918 oleh K.H Ahmad Dahlan yang pada 1920 berganti nama menjadi "Hizbul Wathan" (HW); "Nationale Padvinderij" yang didirikan oleh Budi Utomo; "Syarikat Islam" mendirikan "Syarikat Islam Afdeling Padvinderij" yang kemudian diganti menjadi "Syarikat Islam Afdeling Pandu" dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia dan lain-lain) melebur menjadi satu dengan nama PRAMUKA (Praja Muda Karana).

Minggu, 30 Januari 2011

Foto



Sejarah Pembentukan Ambalan di SMK

SEJARAH SINGKAT
AMBALAN SYARIF HIDAYATULLAH DAN VAKUNGWATI
PANGKALAN SMK BINA PRESTASI BANGSA
CIKALONGWETAN BANDUNG BARAT

Pembentukan Pramuka di SMK Bina Prestasi Bangsa sudah terencana sejak berdirinya SMK ini tepatnya pada tahun 2004, yang diperakarsai oleh Kak Dadan Herlana,S.Sos yang saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah dan Aldi Ramdani S.Sos sebagai Pembimbing, karena kedua orang ini dulunya pernah berkecimpung dalam dunia Kepramukaan, dan merencanakan pembentukan Ambalan di SMK ini, karena sesuatu hal maka pramuka tidak dapat berdiri pada tahun ini.
Pada tanggal 3 Agustus 2007 AD/ART Ambalan berhasil dibuat. dengan bantuan dari Kak Tatang Sutardi dari Ambalan Kian Santang (SMUN 1 Cikalongwetan) dan selebihnya dibantu oleh Kak Elvin dan Kak soleh dari Ambalan Arif Rahman Hakim (SMA Karya Pembangunan), dan akhirnya ditemukanlah nama Ambalan untuk Pangkalan SMK Bina Prestasi Bangsa, dengan nama Syarif Hidayatullah untuk Ambalan putra Dan Ambalan putri diberi nama Vakungwati,
Pada tanggal 12-14 Agustus 2008 diadakan HUT Pramuka ke-47 se-kecamatan Cikalongwetan, di Daerah Maswati, dan ditanggal 12 Agustus 2008 Kak Tatang, kak elvin dan soleh kembali lagi ke pangkalan SMK Binpressa untuk mengadakan acara pengambilan badge Ambalan yang pertamakalinya, dan melantik sekitar 19 orang anggota pramuka, dan keesokan harinya tepatnya Tanggal 13 Agustus 2008 Jam 03.00 WIB lahirlah Ambalan baru di Cikalongwetan, dan diresmikanlah Ambalan Syarif Hidayatullah dan Vakungwati dan diakui keberadaannya.
Disusun Oleh :
Komite Pembentukan Ambalan
Syarif Hidayatullah Dan Ambalan Vakungwati. (Agustus 2007)

KUHADIAHKAN DAN KUAMANATKAN UNTUKMU
JAGALAH SELALU AMBALAN SYARIF HIDAYATULLAH & VAKUNGWATI
DAN JAGALAH SELALU KEBERADAANNYA

Kegiatan PAKUNGWATI

Kegiatan Ambal

Pengurus Ambalan PATI

-

Kegiatan SYARIF HIDAYATULLAH

-

Pengurus Ambalan SYAHID

Pengurus Ambalan Syarif Hidayatullah
Masa Bakti 2010/2011

Pradana : Bangbang Hikmat Sukmawan
Pemangku Adat : Yadi Mulyadi
Hartaka & Kerani : Lendi Permana

Pengurus Ambalan SAHID

-

Rabu, 26 Januari 2011

Silsilah Keluarga dari Siliwangi sampai dengan
Syarif Hidayatullah dan Dewi Pakung Wati

SEJARAH SYARIF HIDAYATULLAH (SUNAN GUNUNG JATI)

Pangeran Walangsungsang yang selanjutnya bergelar Sri Manggana raja pertama daerah Cirebon Larang, memiliki adik bernama Rara Santang. Ketika Walangsungsang menunaikan ibadah Haji, Rara Santang juga ikut serta untuk berhaji. Diceritakan ketika sampai di pelabuhan Jedah, Samadullah alias Walangsungsang dan Rara Santang bertemu dengan Syarif Abdullah, penguasa (walikota) di negeri Mesir. Syarif Abdullah adalah keturunan Bani Hasyim yang pernah berkuasa di tanah Palestina. Di kota Mekah, Rara Santang dipersunting oleh Syarif Abdullah yang selanjutnya setelah menunaikan ibadah Haji, Rara Santang diboyong ke negeri Mesir. Dari perkawinan Syarif Abdullah dan Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) di karuniai seorang putera bernama Syarif Hidayatullah, lahir tahun 1448 M.
Pada masa remajanya Syarif Hidayatullah berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf. Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu.
Ketika Rara Santang (Hajjah Syarifah Muda’im) kembali ke Cirebon 1475 M, ia disertai suaminya dan puteranya Syarif Hidayatullah tinggal dan menetap di Cirebon Larang yang telah diperintah oleh pamannya Pangeran Cakrabuana alias Haji Abdullah Iman.
Sebelum menjadi Susuhunan Jati, Syarif Hidayatullah melakukan kegiatan Dakwah di Banten Pesisir yang saat itu dirajai oleh Sang Surasowan. Menurut cerita lain sebelum ke Banten Pesisir, Syarif Hidayatullah pergi ke Demak menemui Sunan Ampel untuk bersilaturahmi, dimungkinkan perginya Syarif Hidayatullah ke Banten Pesisir atas perintah dari Sunan Ampel. Untuk kepentingan dakwahnya, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Kawunganten putri Sang Surasowan penguasa Banten Pesisir. Ia diakuniai dua orang putra-putri yaitu Hasanuddin yang selanjutnya menjadi pelanjut dakwah ayahnya di Banten dan Ratu Winahon alias Ratu Ayu yang dinikahkan kepada Fachrullah Khan alias Fadhillah Khan alias Faletehan seorang Panglima perang tentara Demak.
Empat tahun kemudian atau 1479 M (setahun setelah berdirinya Negara Islam Demak) Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasaanya kepada Syarif Hidayatullah (saat usia 31 th), sebelumnya menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya Ratu Pakungwati.
Atas dukungan para wali, Syarif Hidayatullah memutuskan Cirebon menjadi Negara Islam yang merdeka terlepas dari pemerintahan pusat Pakuan Padjadjaran.
Upacara penobatan Syarif Hidayatullah yang bergelar Susuhunan Jati, di hadiri oleh Dewan Wali dan Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Raden Fatah. Ketika Raden Fatah pulang ke Demak, sebagian pasukannya ditinggalkan untuk menjadi pengawal dan melindungi Susuhunan Jati.
Posisi Syarif Hidayatullah yang selanjutnya dikenal dengan Sunan Gunung Jati bukan hanya sebagai Susuhunan Jati Negara Islam Cirebon, tetapi dalam Dewan Wali menempati posisi yang sentral. Beliau memangku jabatan Khatib Agung Masjid Demak. Pada masa pemerintahan Demak beralih kepada Pangeran Treggono (setelah Raden Fatah wafat digantikan Pati Unus lalu Pangeran Trenggono), Sunan Bonang memerintahkan Sultan Demak baru untuk mengunjungi Sunan Gunung Jati, pada kesempatan itu Sunan menganugrahkan gelar kepada Pangeran Trenggono sebagai Sultan Ahmad Abdul-Arifin. Pemberian gelar tersebut mengandung arti legitimasi bagi Pangeran Trenggono untuk memimpin Negara Islam Demak. Perintah Sunan Bonang kepada Pangeran Trenggono untuk menemui Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk pada posisi Sunan Gunung Jati saat itu sebagai ketua Dewan Wali setelah Sunan Ampel dan Sunan Giri wafat.
Karena itulah kami mengambil nama Syarif Hidayatullah sebagai nama Ambalan

Sejarah Pakungwati


Perkawinan Sang Pamanahrasa (Sri Baduga Maharaja) atau yang lebih dikenal dengan Siliwangi dengan Nyi Mas Subang larang, putri dari Ki Gedeng Tapa, memperoleh putera dan putri, yakni Walangsungsang,(Kian Santang) Rara Santang dan Rajasangara. Sang Pamanah Rasa mempersunting Nyi Mas Subanglarang setelah terlebih dahulu mengalahkan Raja Sakti Mandraguna dari wilayah Cirebon, yakni Amuk Murugul. Dengan demikian, baik dari Sirsilah ibu maupun ayah, Walangsungsang masih teureuh Niskala Wastukancana.

Subanglarang sebelum dipersunting Sang Pamanahrsa terlebih dahulu telah memeluk agama Islam. Ia pun alumnus dari Pesantren Quro yang didirikan oleh Syeh Hasanudin atau Syeh Quro (bukan Sultan Hasanudin). Menjadi tidak mengherankan jika putra-putrinya memeluk agama Islam dan direstui oleh Sang Pamanahrasa.

Bahwa memang ada cerita tentang keluarnya ketiga bersaudara tersebut keluar lingkungan istana Pakuan disebabkan ada perselisihan tahta antara Subanglarang dengan Kentring Manik Mayangsunda. Namun ada pula yang menceritakan bahwa keluarnya Walangsungsang dari lingkungan Pakuan bersama adiknya, Nyi Mas Rarasantang dilakukan dengan seijin ayahnya, sedangkan Rajasangara tetap berada dilingkungan Pakuan. Untuk kemudian tahta Pajajaran diteruskan oleh Surawiesa putra Sri Baduga dari Kentring Manik Mayangsunda. Bahkan ketika masih menjadi Prabu Anom Surawisesa, pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis (1512 M) disebut-sebut perjanjian ini merupakan kali pertama yang di dokumentasikan dengan baik.

Yoseph Iskandar didalam bukunya menjelaskan, bahwa : pada suatu ketika, Walangsungsang bersama adik-adiknya meminta izin secara baik-baik kepada ayahandanya, untuk pergi ke Kerajaan Singapura (Cirebon). Alasan Walangsungsang dan adik-adiknya yang utama dikemukakan secara terus terang kepada ayahnya. Walangsungsang yang berstatus Tohaan (Pangeran), juga adik-adiknya, merasa bertanggung jawab untuk meningkatkan kualitas dirinya sebagai putera-puteri Maharaja. Mereka merasa haus akan ilmu pengetahuan, terutama dibidang keagamaan. Ketika ibunya masih hidup, mereka ada yang membimbing, tetapi ketika ibunya telah wafat, di Pakuan tidak ada orang yang bisa dijadikan guru mereka. Tidak Ada lagi penenang batin yang memadai bagi mereka.

Sri Baduga Maharaja, ketika itu masih berstatus Prabu Anom, bahkan mertuanya (Prabu Susuktunggal) masih dibawah kekuasaan kakeknya, Sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga Maharaja atau Prabu Anom Jayadewata, sangat maklum atas keinginan ketiga puterinya itu. Dengan berat hati ia hanya mengijinkan Walangsungsang dan Rara Santang, sedangkan Rajasangara dimohon tetap tinggal di Pakuan.

Pendiri Pakungwati
Pada tanggal 14 bagian terang bulan Caitra tahun 1367 Saka atau Kamis tanggal 8 April 1445 Masehi, bertepatan dengan 1 Muharam 848 Hijriah, Pangeran Walangsungsang membuka perkampungan baru dihutan pantai kebon pasisir, diberi nama Cirebon Larang atau Cirebon Pasisir. Nama tersebut diambil berdasarkan nama yang sudah ada, yaitu kerajaan Cirebon yang terletak dilereng Gunung Cereme yang pernah dirajai oleh Ki Gedeng Kasmaya (putera sulung Sang Bunisora). Ketika Cirebon Pasisir sudah berdiri, kawasan Cirebon yang dilereng Gunung Cereme kemudian disebut Cirebon Girang.

Daerah baru tersebut berkembang pesat. Dua tahun setelah didirikan tercatat ada 346 orang. Kampung baru Cirebon Pasisir, penduduknya terdiri atas caruban (campuran) berbagai bangsa dan agama. Mereka sepakat memilih Ki Danusela menjadi kuwu yang pertama, dan Ki Samadullah terpilih menjadi pangraksabumi, dengan julukan Ki Cakrabumi yang kemudian dijuluki pula Pangeran Cakrabuana.

Setelah menunaikan ibadah haji Pangeran Walangsungsang alias Ki Samadullah alias Pangeran Cakrabuana, mendapat nama baru, Haji Abdullah Imam. Kemudian bermukim di Mekah selama 3 bulan. Di Cirebon, isterinya Indah Geulis, putri dari Ki Danuwarsih telah melahirkan seorang puteri. Untuk kemudian diberi nama Nyai Pakungwati.

Dalam rangka penyebaran agama, ia memperisteri Ratna Riris (puterinya Ki Danusela) dan namanya diganti dengan Kancana Larang. Selanjutnya Ki Danusela wafat, Walangsungsang diangkat menjadi kuwu yang kedua di Cirebon Larang.

Ketika Ki Gedeng Tapa (kakeknya) wafat, Walangsungsang mendapat warisan harta kekayaan yang berlimpah. Dengan modal inilah ia mendirikan keraton yang kemudian diberi nama Keraton Pakungwati, diambil dari nama puterinya.

Pada tahun 1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir. Syarif Hidayat berkuasa sejak tahun 1479 – 1568.

Dalam Pustaka Pakungwati Carbon (1779 M) yang disusun oleh Wangsamanggala – Demang Cirebon Girang atas perintah Sultan Muhammad Saifuddin (Matang Aji), dijelaskan tentang letak Pakungwati sebagai berikut : “Keraton ini didirikan di sebelah barat Kali Karyan. Dahulu disebut Kali Carbon yang dalam jaman hindu disebut Kali Subha. Sebelah hulunya disebut Kali Gangga dan disebelah hulunya lagi disebut Carbon Girang”.

Pembentukan Kerajaan Pakungwati direstui oleh Sri Baduga (ayahnya). Untuk keperluan ini Sri Baduga mengutus Ki Jagabaya untuk menyampaikan tanda kekuasaan dan memberik gelar Sri Mangana kepada Walangsungsang. Pada saat itu Ki Jagabaya diserta Jasangara, adik bungsu Walangsungsang.